Jumat, 01 Agustus 2008

Niat dan Syukuran Haji


Fenomena yang jamak dalam tradisi ibadah haji adalah tasyakuran sebelum berangkat haji. Tasyakuran ini modelnya beragam mulai dari orang yang diundang, waktu, makanan yang disuguhkan ataupun souvenir dan pernak-pernik yang lain. Motivasi dan latar belakangnyapun beragam, mulai dari sekedar mengikuti tradisi sampai dengan sebagai ajang pamer atau sebagai ukuran kesuksesan seseorang. Ibadah haji adalah ibadah yang tidak semua kaum muslimin ’dapat’ melakukannya dan secara sosial mempunyai posisi yang spesial di masyarakat Indonesia. Dalam tradisi etnis Jawa (Tgl) misalnya, seseorang yang sudah melaksanakan haji dianggap lebih dan terhormat dalam strata sosial dimasyarakat. Seseorang dianggap sukses dalam hidupnya setelah dia mempunyai rumah, dirumahnya ada mobil (walupun tidak pernah dipakai) dan bisa melaksanakan ibadah haji.
Namun ketika kita bicara ekses dari motivasi kolosal yang berlebihan, maka kita patut berhati-hati. Dalam realitanya motivasi yang berlebihan bisa menyebabkan orang menghalalkan cara dalam mencapai tujuan. Seseorang yang melihat lingkungan sekitarnya dapat merealisasikan tujuannya (dalam hal ini haji) maka bisa muncul 2 sikap, yang pertama timbul rasa cemburu
yang berefek positif sehingga menggairahkan mereka dalam bekerja. Sikap yang kedua adalah timbulnya rasa malu dengan keberhasilan orang lain sehingga menempuh segala cara agar mencapai kesuksesan yang bisa menyainginya. Di sinilah mulai terjadi penyimpangan niat dan bibit-bibit persaingan yang tidak sehat.
Niat semula yang ingin menyempurnakan rukun Islam sesuai dengan kemampuan dan karunia Allah SWT, membelok menjadi tidak ingin dikatakan orang lain tidak sukses dengan ukuran sudah bisa pergi haji. Jadi niat haji bukan karena Allah SWT tetapi karena orang lain. Dan itulah riya’, sebuah pekerjaan yang sulit untuk dideteksi keberadaannya.
Demikian juga dengan fenomena tasyakuran haji. Semula tasyakuran diniatkan sebagai ajang silaturrahim dan pamitan kepada lingkungan sekitar serta handai taulan. Isi dari tasyakuran haji intinya permohonan do’a agar perjalanan ke tanah suci lancar sekaligus motivasi bagi yang belum menunaikannya. Tasyakuran tersebut biasanya dilakukan satu atau dua minggu sebelum hari pemberangkatan.
Namun dalam perkembangannya juga mengalami pembelokan tujuan. Niat semula yang tulus berubah menjadi ajang deklarasi ke’mampu’an seseorang. Bahkan tasyakuran seolah menjadi sebuah rangkaian yang tak terpisahkan dari manasik haji. Semakin tinggi gengsi seseorang, maka semakin besar perhelatan yang digelar dalam rangka tasyakuran. Penceramah yang diundangpun menyesuaikan dengan kelas tasyakurannya. Kyai yang punya nama akan semakin meningkatkan gengsi. Walaupun hidangan yang disediakan tidak sebanding dengan nama besar kyai yang diundang ceramah.
Fenomena penyimpangan makna tasyakuranpun disikapi secara beragam. Sebagian calon jama’ah haji secara ekstrem memandang bahwa tidak perlu lagi melakukan tasyakuran. Mereka beranggapan bahwa momentum tersebut sia-sia saja bahkan cenderung negatif karena kita akan terjebak pada riya’ dan kesombongan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa tasyakuran telah menjadi sebuah adat yang mau nggak mau kita harus ikuti, toh tidak menyalahi hukum agama. Masalah kita melaksanakannya dengan motivasi pamer atau yang lain itu urusan hati
masing-masing.

Kamis, 31 Juli 2008

Istriku Tak Secantik Aisyah

Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau, maka anggapan itu menjadi benar untukku. Aku merasa rumput tetangga jauh lebih hijau dan subur, sehingga jika kaki kita merapat padanya, akan lembut dan jika kita pandang tentu akan menyejukan mata. Salahkah jika aku berfikiran seperti itu….. berfikir bahwa istri orang ternyata lebih menyejukkan mataku dibanding dengan istriku sendiri…… ? Tapi jika rumput tetangga lebih hijau mungkin karena sang empunya memang rajin merawatnya, menyiramnya, memberikannya pupuk yang membuat rumput itu memang menjadi sedap di pandang mata dan menjadi penghias yang indah untuk sebuah rumah. Mungkin rumputku menjadi gersang karena aku tak merawatnya, memupuknya, bahkan aku mungkin lupa kapan terakhir kali aku menyiramnya, wajarlah jika rumput itu hampir mati , sehingga menatapnya bukan sedap yang kudapat dan tentu saja jika dipijak kaki tak merasa nyaman…..apakah semua ini memang murni salahku…. ?
Jika ada yang bertanya padaku tentang pendapatku terhadap betapa banyaknya wanita yang menjadi korban kekerasan keluarga, kadang aku tersenyum sendiri, kekerasan dalam rumah tangga korbannya tak selalu melulu wanita, kadang priapun menjadi korban walaupun jumlahnya memangnya tak sebanyak korban wanita…… akupun tak tahu, tapi aku adalah lelaki korban kekerasan itu…. tapi sebagai laki-laki aku tentu malu jika harus datang ke komnas HAM untuk mengadukan istriku yang telah menganiayaku baik secara fisik maupun psikis. Orang pasti akan menganggapku lelaki lemah, masa kalah sama wanita. Tapi kadang jika ingin melawan istriku aku tak pernah sanggup….. mungkin karena aku memang lelaki lemah………….
Adalah Aisah…. istri temanku….. dia seolah menjelma dalam setiap mimpiku, dia berada dalam setiap langkahku, bahkan terkadang menjadi inspirasiku….. Aisah…. telah membuat jiwa laki – lakiku yang hampir mati hidup kembali, membayangkan bahwa di dunia ini perempuan tak seburuk yang ku hadapi. Aisah bukan wanita seperti Farida istriku, dia jauh dari kesan cantik, hidungnya tak semancung Farida, kulitnya tak seputih Farida, Aisah tak seperti para wanita kota kebanyakan yang menghabiskan seperempat gaji suaminya untuk menata diri ataupun mungkin setengah gaji suaminya habis begitu saja di salon kecantikan. Wajah Aisah… jauh dari kesan sempurna. Kulitnya hitam khas orang jawa, hidungnya pun tak mancung. Tapi menatap Aisah ada kedamaian di sana. Saat dia menatap Moeliawan suaminya, atau saat dia menggendong Rivan anak bungsunya kasih sayang terpancar dari bahasa tubuhnya. Bahwa sebagai wanita Aisah memang penuh dengan cinta….. yang terbagi diantara suami dan ketiga anaknya…… Aisah disamping Ridwan untuk mendampinginya……. dikala susah, sedih dan tentu saja bahagia……
Farida adalah mimpi burukku, membayangkan apa yang telah terjadi dalam hampir setengah abad hidupku yang ku lalui, dan hampir seperempat abad bersamanya membuat jantungku berdebar keras. Wajah Farida memang cantik tapi menatapnya bukan kedamaian yang ku dapat tapi keresahan, bahkan ketakutan hingga lebih baik berada jauh darinya daripada berdekatan. Farida bagai mimpi buruk di mataku…. dan mungkin juga di mata kedua anakku……
Bertemu Farida, kala itu usiaku sudah menginjak 25 tahun baru bekerja disebuah perusahaan asing. Aku yang berasal dari pulau Kalimantan waktu itu merantau di tanah jawa ini sekalian juga mencari jodoh maklum kata orang, wanita di Jawa berkulit putih dan berhidung mancung, mirip para artis. Kala itu mungkin Lenny Marlina………….. maka akupun kos disebuah jalan di Bandung, sengaja aku kos di daerah santri begitu orang menyebut tempat itu, karena disitu banyak pesantren. Aku ingin sekalian menimba ilmu agama, makanya kos ditempat itu. Setelah pulang kerja biasanya aku ikut ceramah di sebuah pesanten dilanjutkan dengan tadarus, kala itu terkadang aku berharap dapat berjumpa dengan seorang santri wati yang cantik, yang akan ku bawa sebagai menantu untuk ibuku, maklum aku anak laki-laki satu satunya, ibuku mewanti-wanti jika beristri carilah yang sholeh…. dia akan membawamu pada surga di dunia dan akhirat……
Aku bertemu Farida kala itu, Aku melihat seorang gadis dengan kulit putih berhidung mancung sedang duduk di pintu mesjid. Aku menyapanya karena kakinya menghalangi langkahku untuk masuk. Dia menatapku kemudian berlalu. Sekilas saja aku memandangnya aku merasa jatuh hati padanya, makanya aku segera mencari tahu siapa gadis itu. Moeliawan teman satu kostku ternyata telah lebih dulu mengenalnya, “Oooh… Rida… dia gadis yang sering duduk di pintu mesjid sambil melamun…? kata Moeliawan, “Namanya Rida ya…?” tanyaku, ”Farida… dia anak Ustadz Arifin Almarhum, kasihan dia….. hidupnya sekarang sebatang kara ibunya baru meninggal 3 bulan yang lalu, sekarang dia tinggal bersama Kakaknya Soleha….. guru Tafsir Qur’an di pesantren ini….. ayo…. kau suka dia ya…… Man….?” Moeliawan menggodaku, “Ah… kau Dy.. aku kan baru melihatnya sekali, aneh saja koq gadis itu duduk menyendiri…” sergahku, ”Rida memang cantik… nanti aku kenalkan…. dia itu teman mainku …. tenang saja….” Moeliawan menepuk pundakku. Ada senang di hatiku. Berarti menuju perkenalan takkan susah. Seminggu setelah kejadian itu Moeliawan mengenalkanku dengan Farida, saat itu sehabis ceramah dhuha, Moeliawan sengaja menyuruhku pulang paling akhir, rupanya dia telah menyuruh Farida menunggu kami di pintu gerbang pesantren, kami berkenalan, awal perkenalan terlihat sekali bahwa Rida adalah gadis yang santun, tutur katanya teratur, pandangannya selalu tertunduk seolah malu menatap kami. Farida adalah mutiara yang berkilat untukku saat itu, sinarnya terpancar dari caranyanya bersikap, mungkin karena sejak kecil Farida hidup di lingkungan pesantren sehingga perangainya terdidik rapi, apalagi ayahnya adalah Almarhum Ustadz Arifin yang bagi kalangan santri disini cukup disegani, Farida pasti tak mau membuat malu ayahnya…..
Sejak saat itu pertemuan kami menjadi rutin, sepertinya Rida tak keberatan aku mendekatinya, tapi aku dan Rida menjaga jarak hanya bertemu dengan sekilas pandang atau menitip surat melalui Moeliawan. Kami tak pacaran seperti anak muda masa kini. Hanya dengan surat saat itu rasanya sudah cukup romantis. Rupanya Rida bukanlah gadis yang periang dia terkadang menangis dalam suratnya membayangkan hidupnya yang sendirian tanpa orangtua saat itu, aku begitu kasihan. Sehingga dalam suratku yang kesekian aku memberanikan diri untuk menawarkan diriku sebagai pelindung dirinya, Rida ternyata tak menolakku, aku bahagia sekali. Maka sejak saat itu aku memberanikan diri untuk langsung melamarnya. Walaupun saat itu Rida belum menamatkan sekolahnya, tapi aku dan Rida yaqin untuk menikah, Rida waktu itu masih kelas 3 di Aaliyah. Ku kabari kedua orang tuaku. Tampaknya ibu tak keberatan dengan pilihanku. Maka pada tanggal 23 April 1977 aku dan Farida menikah. Orangtuaku hadir begitu pula dengan ke 3 adikku, mereka tampak bahagia, begitu pula dengan Kak Soleha kakak satu-satunya Farida. Walaupun tanpa pesta meriah, tapi pesta itu dihadiri oleh banyak tamu, karena ayah Farida Almarhum Ustadz Arifin cukup dikenal di kota Bandung.
Setelah menikah kami memilih untuk tinggal di kontrakan yang agak dekat kantorku, agar aku bisa agak siang pergi dan lebih awal pulang. Sebuah rumah sederhana dengan 2 kamar tidur menjadi tempat kami berbulan madu. Saat itu pendapatanku baru bisa memberinya hadiah perkawinan seperti itu. Tapi saat itu rasanya kami bahagia-bahagia saja……..
Kejadian itu bermula sewaktu aku harus meninggalkan istri ku untuk pergi dinas keluar negri selama 2 bulan. Aku menitipkan Rida pada Kak Soleha karena kasihan juga jika harus di rumah sendirian, sepulang dari Malaysia waktu itu aku kaget tak kepalang. Aku mendapati Farida sedang duduk diberanda tanpa jilbab, saat itu kufikir dia lupa, tapi ternyata salah, karena sejak hari itu Farida tak lagi memakai jilbab. “ Rida…. ada apa ini…?” tanyaku saat itu, “Aduh Mas Rahman…. sudahlah masalah jilbab jangan dibikin ribut, aku malu Mas kalau setiap kali bertemu dengan istri – istri teman Mas, cuman aku yang berjilbab, kampungan…..” katanya, ”Jangan seperti Kak Lela yang terus menerus menceramahiku ya…” suara itu meninggi. Darahku seperti habis saat itu. Kami pun pulang menuju kontrakan. Aku merasa wanita yang ada di motorku saat itu bukan Farida yang kunikahi. Dia asing di mataku.
Aku mencoba bersabar saat itu, aku mencoba menasehatinya sedikit pelan, rupanya tak mudah mengubah Farida. Aku hampir saja akan meninggalkannya, karena dari hari ke hari perilaku Farida semakin tak ku kenal. Wajahnya berbedak tebal dengan gincu merah, bahkan kadang berlengan pendek, Dia terlihat seperti para artis. Tapi niat itu kuurungkan ketika Farida mengatakan padaku dia hamil. Semenjak hamil perilakunya semakin tak terkontrol dia berani membentakku dan bahkan menamparku, jika ku ungkit masalah jilbab. “Rida……. kau…..” kataku kehabisan kata – kata saat dia menamparku dengan kekuatan yang penuh, maka telapak tangan Rida kini ada di pipiku, “Man…. aku tak ingin lagi…. kau bahas masalah itu, atau ku gugurkan bayimu…..” Rida membelalakkan matanya padaku, aku nyaris membalas tamparannya jika tak ku ingat kini dia sedang mengandung. “Istihgfar Rida…..” jawabku, “Sudah lah…. aku bosan…. kalau mau jadi ustadz jangan ceramahi aku…. aku bosan……” Rida masuk ke kamar sambil membanting pintu. Aku duduk ternganga aku tak pernah membayangkan kejadian barusan akan ku alami. Aku memilih Rida sebagai istriku karena aku tertarik pada bahasa tubuhnya yang sopan bukan seperti hari ini…… aku beristigfrar. Tapi kala itu aku mencoba lebih bersabar karena ku fikir perubahan perilaku ini mungkin karena adanya perubahan hormon akibat kehamilan. Ku coba untuk lebih memahaminya, dan lebih memperhatikannya.
Bayi kami laki – laki kami beri nama Fauzan Atthariq, karena dia lahir saat malam hari. Semenjak Thariq lahir, begitu aku memanggilnya, Rida tak mau menyusui bayi itu, dia takut badannya rusak katanya, aku hampir menangis memohon padanya agar bayi itu disusui, ketika akhirnya Rida meyusui bayi itu dengan syarat, “Aku harus dibayar untuk ini Mas…… aku besok minta dibelikan perhiasan lengkap…..” katanya. Malam itu Thariq tidur pulas sekali karena ada dipelukan ibunya. Aku akhirnya menangis dalam tahajudku, mohon kepada Allah apa yang harus ku lakukan saat itu…. Alhamdulillah ada Kak Soleha yang saat itu juga baru melahirkan akhirnya, Thariq disusui oleh Kak Soleha. Kini Kak Soleha tinggal bersama kami, karena kasihan melihat Thariq.
1 tahun setelah kelahiran Thariq, Allah memberi kami rezeki, aku mendapat kemudahan untuk memiliki rumah dengan cara diangsur melalui kantor dan sebuah mobil dinas. Tapi Farida justru menjadi semakin tak terkendali. Kak Soleha yang datang untuk menyusui Thariq diperlakukan seperti pembantu. Apalagi kini dia merasa seperti sudah kaya. Aku merasa sangat bingung sekali, kelakuan dan tingkah Rida semakin hari semakin tak terkendali. Dia bisa mencubit tanganku hingga berdarah jika keinginannya tak terkabul, Alhamdulillah ada Kak Leha yang selalu menghiburku dan mengingatkanku untuk bersabar. Akhirnya Kak Leha pun memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya. Kini Thariq ditangani suster, aku harus rela sebelum 2 tahun anakku harus minum susu formula. Sementara itu Farida ternyata hamil lagi…… sebuah usaha pengguguran kandungan ku dapati tak sengaja, Rida minum jamu. ”Rida….. ini jamu apa……?” tanyaku heran, ”Jangan ikut campur Mas…” katanya sambil merampas jamu itu dari tanganku, ”Aku hamil… aku mau bayi ini mati….” katanya sambil menunjuk perutnya, ”Rida…..” sergahku, ”Mas….. aku dengan satu anak saja sudah pusing bagaimana kalau dua….. aku bisa gila…..” katanya sambil menatapku marah, ”Rida…. dia itu bayi kita…. aku bingung dengan kau… Rida….. istigfar Rida…….” kataku lemah. ”Mas…… aku tak mau hamil lagi, bahkan Thariq bagiku adalah kesalahan…. tubuhku hancur dibuatnya….” wajahnya memerah, ”perempuan macam apa kau Rida….” kataku sambil menatapnya, ”Aku istrimu Mas…. aku yang membuatmu terkenal di kantor….. kini siapa yang tak tahu Ir. Rahman Malik, manager baru yang beristri cantik…… Mas pasti tidak tuli kan jika seluruh kantor…. mengagumi kita karena kecantikanku….?” Rida berbangga, aku bingung dengan jawaban itu. ”Rida…. sebaiknya kau sering beristigfar…..” kataku sambil bangkit dan menuju Thariq yang menangis kencang. Kasihan bayi itu kini dia harus tidur dengan susternya, karena aku jarang di rumah semenjak menjadi Manajer tugasku bertambah, aku sering tugas keluar kota hingga ke luar negri, aku tak sempat lagi menggendongnya jika malam atau memeluk wangi tubuh bayiku….. tapi itu semua ku lakukan karena akulah kepala keluarga disini tugas utamaku mencari nafkah, seharusnya Ridalah yang lebih memperhatikan Thariq…… Ya.. Allah…… ada apa dengan istriku………………………
”Bisa… nggak ya… kalau sholat malam tidak berisik…. aku ngantuk….” Farida marah begitu aku menyelesaikan tahajudku, ” Rida…… kau keterlaluan….” jawabku, ”Begini Mas….. kalau mau tahajud…. di kamar bayimu…. sana… jangan ganggu aku……” katanya sambil kembali tidur. Aku semakin hari semakin tak mengerti. Rida telah berubah menjadi pribadi yang tak ku kenal……
Usaha pengguguran kandungan itu tak berhasil. Rida ternyata tetap hamil. ”Sial…. kenapa bayi ini tidak juga mati…..” Rida menangis malam itu. ”Rida…. kenapa sih, kau tak suka jadi seorang ibu…..” tanyaku hati-hati, ”Mas…. aku ini masih muda masih mau bersenang – senang, masa waktuku harus habis dengan mengurusi bayi….” sergahnya, ”Banyak orang tak bisa punya anak Rida….. mereka rela mengorbankan apapun demi kelahiran bayi…..” kataku, ”mereka bukan aku,… Mas… aku masih muda….. aku masih mau menikmati semuanya…..” katanya dengan tangisan yang kencang. Aku memeluknya. Ada rasa kasihan di hatiku. Mungin benar juga, Rida hidup dalam kesusahan selama ini. Semenjak Ustadz Arifin meninggal tentu dia tak mendapat kasih sayang yang utuh dari keluarganya, Rida mungkin lebih butuh aku sebagai pelindungnya….. aku membelai rambutnya hingga tidur. Wajahnya tetap secantik mutiara… seperti saat aku pertama kali melihatnya…………..
Aku berdo’a dalam hati semoga bayiku sehat, aku takut obat yang pernah diminum Rida akan berpengaruh pada bayiku. Alhamdulillah, Allah maha penjaga hambanya, bayi kedua ku lahir sehat, perempuan, ku beri nama Khadijah Humaira. Khadijah ku ambil dari nama istri nabi, yang terkenal sangat sholeh, aku ingin anakku seperti beliau, dan Humaira dari panggilan Nabi kita Muhammad SAW untuk istrinya Aisah, yang berarti kemerahan. Karena ketika lahir wajah bayi ku terlihat begitu indah, semoga bayiku akan tumbuh sesholeh namanya, itu do’aku dalam hati, aku menangis begitu mendengar tangisan pertamanya, dan melihat betapa sempurnanya Allah telah menciptakan anakku. Sambil mengadzaninya hatiku tak berhenti bersyukur….. rasanya hidupku begitu lengkap, dengan dua anak yang begitu sedap dipandang mata……… seandainya saja Rida pun mau mensyukuri hadiah ini…. pastilah kebahagian itu akan membuat wajah cantiknya semakin bersinar…………………
Kini aku tak kaget Rida pun pasti tak mau menyusui bayinya, makanya jauh – jauh hari aku sudah mempersiapkan seorang suster untuk menjaga Maira begitu aku memanggil anak perempuanku. Aku mencoba mengerti Farida dari sisi yang aku coba fahami, mungkin dia cemburu dengan kelahiran anak – anak ini, dulu aku yang selalu memperhatikannya kini terbagi pada kedua anakku, aku mencoba agar emosiku tak pernah naik jika berhadapan dengan perilakunya yang di luar batas kewajaran. Terutama di depan Thariq dan Maira aku ingin kami terlihat seimbang, tak ingin terlihat adanya penyesalan dari ibunya karena telah melahirkan dua permata hatiku itu…… walau pun perasaanku adalah hal terakhir yang akhirnya harus diingat, karena dari sisi mana pun perbuatan Farida rasanya tak termaafkan. Oleh karena itu seperti apapun Farida telah menohok harga diriku sebagai laki – laki dan kepala keluarga aku mencoba bertahan, aku tak ingin Thariq dan Maira harus hidup dengan orang tua yang bercerai, pastilah tak enak dengan keadaan itu apalagi mereka sangatlah terlalu kecil untuk menghadapi hal ini, seburuk – buruknya Farida di mataku, dia tetap ibu dari anak – anakku……..
Thariq dan Maira tumbuh sebagai anak yang matang secara jiwa, sejak kecil sudah kudidik dia agar mengerti dengan perangai ibunya, walau pun setelah besar Thariq dan Maira tahu bahwa ibunya tak pernah dapat memperlakukan mereka seperti ibu – ibu lainnya, tapi aku yakin kedua anakku tak kekurangan kasih sayang, karena ada aku yang selalu berada di sisi mereka mencoba memberi pengertian tentang keadaan jiwa dari Farida. Mungkin karena itulah kedua anakku menjadi anak yang matang secara jiwa, mereka mandiri dalam berbuat, Alhamdulillah secara agama anakku terlihat sholeh sejak kecil sholat mereka lengkap, bahkan di usia yang 13 tahun Thariq pandai sekali berdakwah. Maira begitu pandai menghafal Qur’an. Kedua anakku tumbuh dengan pribadi yang berbeda dengan ibunya, mereka sangat matang….. mungkin karena mereka beribukan Farida…………………………..
Bagi Thariq dan Maira seolah tak mengeluh dengan keadaan bahwa Farida tak pernah memeluknya sebagai ibu ataupun tempat mereka mengadu, tapi akhirnya aku ingin sekali keluar dari jerat Farida yang telah membuat rumahku seperti neraka. ” Mas….. kenapa sih… kau masih saja memberi bantuan untuk ibu dan adik-adikmu… kau kan tahu hidup kita sekarang kebutuhannya semakin hari semakin meningkat….” Farida menatapku marah, seperti biasa setelah gajihan aku selalu mengirim uang untuk ibu dan ketiga adikku, ”Mulai bulan ini tidak ada lagi sumbangan…” Farida ketus, ”Mas…. kau tahu kan aku dulu juga hidup sendirian, ayahku meninggal ketika aku masih kecil, saat itu siapa yang membantuku……?” Farida menatapku dengan marah. ”Ketika orang lain berbaju bagus, aku harus rela berbaju bekas milik anak Haji Husein…. aku tak pernah meminta…. makanya hentikan bantuan itu, mereka jadi tak bisa mikir…. keeenakan…..” katanya sambil duduk di tempat tidur, ”Ma…. kenapa jadi begini, aku kasih ibu tak ada seperempat dari gajiku…. aku harus bantu Ma…. Liliana adik bungsuku masih kuliah….. ibu kan cuma punya pensiun dari ayah yang tak seberapa… kasihan dong….” kataku seolah memberi pengertian padanya, ”Kalau tak mampu tak usah kuliah….. kaya orang kaya aja….” katanya dengan suara mengejek, ”Ma……. aku ini anak lelaki pertama dan satu – satunya aku bertanggung jawab untuk ibu dan ketiga adikku” kata ku dengan suara keras. ”Ya…. tapi kau juga bertanggung jawab untukku dan kedua anakmu…..” Farida bangkit lagi dari tidurnya. ”Tapi kalian pun aku nafkahi, apa pernah karena memberi ibu kalian jadi tak makan….” sergahku, ”Ya.. tapi kehidupan kita akan jauh lebih baik jika uang itu untuk kita saja…. bukan dibagi – bagi…..” katanya dengan lugas. Aku kehabisan kata-kata saat itu. ”Dengar jika kau berikan lagi uang itu untuk keluargamu, maka anakmu yang jadi korban, mereka takkan ku beri makan dan ku keluarkan dari sekolah….. karena uang itu akan ku pakai untuk mengkredit mobil………….” Farida menatapku. ”Mas… kau ini Manager masa bermobil satu, lihat Moeliawan istrinya kemana – mana bermobil…. kau tak malu….. makanya tak usah lagi kau berikan uang itu untuk ibumu…..” Farida kembali merebahkan dirinya, ”Dan tak usah ada sanggahan, aku mau tidur…. besok aku mau ke showroom mobil…………”
Aku mendadak berhenti mengasihaninya, karena kini Farida sudah di luar batas kesabaranku, aku keluar kamar menuju kamar anak – anak. Aku tidur di sana, rasanya lebih damai bersama mereka. Menatap mereka kembali seolah pertengkaran tadi hanyalah kerikil kecil saja, karena hidupku ada di kamar ini bersama kedua anakku.
Kini bantuan untuk ibu kuberikan dari jatah bensin dan uang makan siangku, aku rela harus menahan lapar jika makan siang tiba, dan bensin, aku sering numpang pada Moeliawan kawan sekantorku untuk pergi atau pulang kerja. Mobil ku simpan di rumah Moeliawan hingga Rida tak tahu kalau sebetulnya aku tak menggunakan uang bensin yang diberikannya untukku, ”Maaf ya Dy aku merepotkan mu…. tapi… aku bingung harus bagaimana….” kataku pada Moeliawan, ”Ah… sudahlah Man…. kita ini berkawan…. yang penting Kau dan Rida masih bersama dan anak – anakmu masih beribu…. bukan kah itu yang selama ini kau pertahankan….. anak – anakmu berkeluarga lengkap….?” kata Moeliawan menghiburku. ”Aku salah ya Dy…. mungkin karena itu justru anak – anakku tak bahagia….?” tanyaku, ”Anak – anakmu itu baik Man….. mereka anak sholeh…. aku iri padamu…. kau hebat….” Moeliawan menepuk pundakku. Aku tersenyum ”Sumpah…. kau hebat…..” Moeliawan tertawa…. kami pun tertawa.
Pertemuanku dengan Moeliawan mengantarku untuk bertemu dengan Aisah istrinya………. dari Aisah lah aku belajar bagaimana cara menghadapi anak berusia remaja, dan dari Aisah lah aku mulai kembali bermimpi tentang indahnya hidup. Aisah memberiku contoh tentang kasih yang di berikan istri untuk suaminya, seperti ibuku dulu. Jika Moeliawan akan berangkat kerja ku lihat bibir Aisah mencium Halus tangan Moeliawan, dia melambaikan tangannya pada kami hingga kami hilang ditelan kelokan jalan. Ketika pulang Aisah membukakan pintu dengan senyumnya yang merekah. Terkadang wanginya tercium olehku, wangi senyumannya. Kini ada kebiasaan baru, hari rasanya tak lengkap tanpa mencicipi segelas kopi buatan Aisah yang selalu ku nikmati, jika sedang menunggu Moeliawan bersiap. Dan tentu saja suaranya yang halus ” Hati-hati Mas…..” suara Aisah itu seolah diperuntukkan untukku. Semakin hari Aisah menjelma sebagai penopang hidupku dan pemberi inspirasi dalam segala keletihanku. Mungkin karena itulah kini aku semakin bugar dan fikiranku semakin terarah aku seperti punya pendamping. Aku punya gairah baru selain kedua belahan jiwaku Thariq dan Maira
Menuju setengah abad usiaku aku mulai merasa sebaiknya segera mengambil keputusan, hidup rasanya tak harus selalu dalam impian yang entah kapan akan berakhir. Anak – anak ku pasti akan sangat mengerti keputusanku, mereka sudah dewasa, dan terlebih lagi Farida tak pernah berubah. Aku merasa sudah saatnya aku mencari kehidupan baru selain Farida. Aku ingin mencari wanita seperti Aisah…… agar aku tak harus bermimpi menikmati indahnya hidup.
Aku yaqin di luar sana banyak Aisah – Aisah lain yang akan setia menemani hari tuaku………. malam itu setelah istikharahku yang kesekian, hatiku telah mantap dengan keputusanku, terlebih jika terus memandangi wajah Aisah istri Moeliawan berdosalah aku selamanya, apalagi jika mengharapkan Aisah menjadi milikku. Sungguh suatu mimpi yang tentu tak berujung. Aku berniat menikah lagi dengan seorang wanita bernama Aina dia adalah adik kandung Aisah, janda beranak satu, suaminya meninggal 2 tahun yang lalu karena penyakit kanker. Aina telah ku perkenalkan dengan Thariq dan Maira, kedua anakku setuju saat itu. ”Ayah pun berhak hidup bahagia….” kata Maira sambil memelukku. Thariq hanya mengangguk. ”Mama tak perlu tahu…..” Thariq tersenyum. Aku mengangguk saat itu.
Maka pada tanggal 23 Januari 2007 yang lalu aku resmi menikah lagi dengan seorang wanita bernama Nuraina, pernikahan itu tak seperti pernikahan pertamaku, tapi dari pernikahan ini hingga saat ini, aku merasakan kedamaian yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, semoga Farida mengerti mengapa aku akhirnya melakukan ini…………

Selasa, 29 Juli 2008

Niat, Ikhlas dan Jujur

Bagi orang2 yang hatinya telah diisi bias iman dan cahaya Al Qur'an telah menyadari bahwa kebahagiaan tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan ibadah. Semua manusia akan binasa, kecuali orang - orang berilmu. Semua orang berilmu akan binasa kecuali orang - orang yang beramal. Semua orang yang beramal akan binasa kecuali orang-orang yang ikhlas. Amal tanpa disertai niat akan terasa berat, niat tanpa disertai ikhlas sama dengan riya'. Ikhlas tanpa ada perwujudannya sama dengan sia - sia.
Lalu bagaimana mungkin niat seseorang yang tidak mengetahui hakikat niat, bisa dikatakan benar? Atau bagaimana mungkin orang yang tidak dapat meluruskan niat dapat berbuat ikhlas, jika dia tidak mengetahui hakikat ikhlas? Atau bagaimana orang yang ikhlas menuntut dirinya untuk jujur jika dia tidak bisa mewujudkan maknanya?

Minggu, 27 Juli 2008

Takut dan Khawatir Yang Terlalu Berlebihan Terhadap Seseorang

'Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Sehingga, Allahlah yang harus memberi rezeki kepadanya dan kepadamu, Dialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Al Angkabut [29]: 60). Betulkah ekonomi yang tak menentu sekarang ini yang menyebabkan 'penyakit' panik sangat mudah menyerang anak bangsa kita? Barangkali tidak, jika kita menyelam ke inti persoalannya, bahwa bukan semata-mata krisis ekonomi, melainkan kita umumnya tidak memiliki keyakinan. Karena tidak optimistis, kita menjadi gamang, marah, takut, dan khawatir yang berlebihan terhadap seseorang, walaupun kita sangat kenal dengan orang tersebut. Selanjutnya, tidak adanya keyakinan itu kadang mendorong kita tidak percaya pada seseorang, yang sesungguhnya seseorang itu tidak akan merugikan diri kita dari segi materi. Memang tanpa keyakinan, manusia tak bisa hidup. Akan terus diselimuti keragu-raguan, ketidak percayaan, kesombongan, merasa dirinya paling hebat, merasa dirinya paling pinter, takabur, sombong, congkak, angkuh, peliiit + mediit dll. Tapi sesungguhnya sak begja – begjane wong kang lali isih begjo wong kang Eling lan Waspodo. Surodiro joyoningrat lebur dening pangastuti.

Minggu, 01 Juni 2008

Warteg Kharisma Tebet, Kenari, Kingkit


Warteg Kharisma
Tebet Barat Dalam Raya No 86B, Jakarta Selatan, Indonesia

Cabang :
  1. Jl. Kenari I No.47 Salemba Jakarta Pusat,
  2. Jl. Tebet Utara 1 No. 1C Jakarta Selatan,
  3. Jl. Tebet Barat 7 No. 5 Jakarta Selatan,
  4. Jl. Kingkit I No. 3, Juanda, Jakarta Pusat
adalah warung makan yang menyajikan citra tradisi yang memiliki sentuhan rasa. Bagi para kuliner sejati sudah selayaknya anda mencoba untuk menikmati sedikit sentuhan rasa yang disajikan apa adanya, tanpa dibumbui dengan pernak - pernik, yang kadang pernak pernik malah membuat lidah kelu untuk menikmati rasa. Kebersahajaan adalah tradisi dari warung makan ini. Kepuasan dari makan adalah kenikmatan rasa dengan nilai sentuhan harga yang tidak akan membuat pengeluaran menjadi kurang, malah berlebih. Rasa adalah hidup, karena rasa akan tumbuh dan berkembang. Kebersahajaan dari warung ini adalah rasa dari hidup itu sendiri.

Photo Akbar